Industri tapioka di Lampung tengah menghadapi dilema besar, terutama bagi para petani singkong. Permasalahan ini muncul akibat penurunan harga yang signifikan, disertai praktik permainan harga oleh pelaku lapak yang merugikan para petani.
Realitas pahit ini membuat para petani hanya mendapatkan imbalan antara Rp400 hingga Rp500 per kilogram. Apakah kita bisa membayangkan bagaimana rasanya bagi mereka yang mengandalkan hasil pertanian untuk kehidupan sehari-hari?
Proses Permainan Harga yang Merugikan
Masyarakat mungkin tidak menyadari bahwa ada pengambilan keuntungan yang sangat besar dari harga jual singkong. Khususnya, jika hanya mengambil keuntungan sebesar Rp100 per kilogram, pelaku lapak dapat meraup hingga Rp110 miliar dari perdagangan ini. Angka yang sangat mencolok, bukan?
Para petani seringkali terjebak dalam sistem yang tidak mendukung mereka. Menurut beberapa pengamat, persoalan ini bukan hanya masalah antara petani dan pabrik, tetapi juga menyangkut keseluruhan ekosistem industri tapioka. Kerusakan sistem ini telah terjadi terlalu lama dan tidak pernah ditangani secara menyeluruh. Seperti yang diungkapkan oleh seorang pengamat, setiap kali ada masalah, petani dan pabrik selalu menjadi pihak yang berbenturan. Padahal, akar masalah terletak pada ketidakberesan sistem yang ada.
Strategi Menghadapi Tekanan Harga dan Stok
Di samping tekanan harga, apabila kita melihat pabrik singkong yang merupakan anggota asosiasi juga dalam kondisi sulit. Ada sekitar 250 ribu ton stok tapioka yang tidak terjual, menjadikan situasi semakin runyam. Harga pasar yang sebelumnya pernah mencapai Rp6.500 per kilogram kini hanya tersisa di Rp5.200, belum ditambah dengan pajak pertambahan nilai. Dalam konteks ini, pabrik mengalami kesulitan untuk menutupi biaya produksi, terutama jika mereka terus membeli singkong dengan harga tinggi dari petani.
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah harga patokan Rp1.350 yang diterapkan secara lokal tanpa konsistensi di daerah lain. Kebijakan ini berpotensi membuat ketimpangan dan diskriminasi antara daerah. Mengapa hanya Lampung yang terikat regulasi semacam itu? Hal ini tentu saja menghambat daya saing petani di Lampung yang menyuplai sekitar 40 persen dari total produksi tapioka nasional.
Seketika, harapan muncul dari kalangan pengusaha, yang meminta pemerintah pusat untuk menetapkan harga singkong secara nasional. Langkah ini dianggap krusial untuk menciptakan keadilan bagi seluruh pelaku industri, baik petani maupun pabrik.
Mereka mendesak agar penetapan harga bisa segera dilaksanakan, bukan hanya untuk menciptakan keadilan tetapi juga untuk memberikan kepastian bagi semua pihak yang terlibat. Selain itu, ada laporan bahwa impor tapioka mulai dilakukan sejak tahun 2012. Bahkan, bea masuk yang biasanya membebani proses impor ini tidak lagi berlaku bagi perusahaan tertentu, membuat situasi semakin sulit bagi pengusaha lokal.
Di sisi katanya, dari segi bibit dan pemupukan, Indonesia juga tertinggal jauh. Kompetitor seperti Thailand telah memproduksi bibit unggul yang menghasilkan tonase lebih tinggi. Di Thailand, per hektar bisa menghasilkan 50 ton pati, sementara di Indonesia, capaian tersebut terasa sulit dicapai.