Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, mengajak Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk menghentikan impor tepung tapioka dalam upaya memperjuangkan nasib petani singkong. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani yang merupakan tulang punggung ekonomi di daerah tersebut.
Sejak lama, sektor pertanian, khususnya singkong, menjadi komoditas penting di Provinsi Lampung. Namun, kenyataannya, banyak petani yang harus berjuang keras untuk mendapatkan harga layak atas hasil pertanian mereka. Di tengah tantangan ini, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana seharusnya pemerintah perlakukan sektor pertanian agar petani dapat berdaya saing?
Perjuangan Petani Singkong di Era Modern
Pertanian singkong di Lampung tidak hanya sekadar soal produksi, tetapi juga mengenai keberlangsungan hidup petani. Sebagian besar penduduk di Lampung mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan. Dengan jumlah petani singkong yang mencapai sekitar 800 ribu keluarga, kontribusi sektor ini terhadap PDRB Lampung sangat signifikan, mencapai Rp50 triliun.
Namun, ada fakta mengecewakan bahwa produktivitas singkong di daerah ini stagnan. Meskipun luas tanam mengalami peningkatan, produksi hanya berkisar antara 25—30 ton per hektar. Salah satu penyebab utamanya adalah kelangkaan akses terhadap pupuk, serta ketimpangan dalam tata niaga yang merugikan petani kecil. Bahkan, harga singkong lokal seringkali tidak mampu bersaing dengan harga tepung impor yang lebih murah.
Strategi Mendukung Petani Melalui Kebijakan yang Adil
Gubernur Mirza menyatakan bahwa Pemprov Lampung telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) dalam upaya menjamin pendapatan petani. Meski begitu, hal ini masih dinilai kurang efektif. Dengan HET yang ditetapkan sebesar Rp900 per kilogram, banyak petani yang kesulitan mendapatkan penghasilan yang layak. Itu sebabnya, upaya penghentian impor tepung tapioka menjadi strategis agar industri lokal bisa bernafas dan meningkatkan daya beli petani.
Studi menunjukkan bahwa dengan mengurangi ketergantungan pada produk impor, ekonomi lokal dapat berkembang lebih baik. Dalam kasus tepung tapioka, angka produksi memang menunjukkan potensi yang besar. Namun, angka riil produksi yang didapat petani belum sepenuhnya menggambarkan kondisi pasar yang ada. Hal ini berakibat pada stagnasi pasar yang menghambat pelaku industri lokal, menciptakan ketidakpastian untuk petani dalam menjual hasil panen mereka.
Pada akhirnya, keberlanjutan sektor pertanian sangat tergantung pada keseriusan semua pihak, baik pemerintah, pelaku industri, maupun petani itu sendiri. Melalui kolaborasi dan kebijakan yang mendukung, diharapkan masa depan petani singkong di Lampung bisa lebih cerah dan berkelanjutan.
Melihat gambaran ini, mari kita dukung upaya yang diambil Gubernur Lampung dalam memperjuangkan nasib petani. Kesadaran dari masyarakat luas dan langkah konkret dari pemerintah akan sangat berarti bagi masa depan pertanian di Indonesia, terutama dalam menghadapi era persaingan global yang semakin ketat.