Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan pembayaran digital semakin meningkat, termasuk Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang sukses meraih perhatian luas masyarakat Indonesia. Khususnya di Lampung, volume transaksi QRIS mencapai 6,8 juta kali pada periode Januari hingga Juni 2025. Data ini menegaskan bahwa QRIS menjadi solusi efektif untuk kemudahan transaksi, terutama di sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Volume transaksi yang tinggi ini mencerminkan tren positif dalam adopsi teknologi finansial. Dengan 1,3 juta pengguna yang aktif menggunakan QRIS dan lebih dari 600 ribu merchant yang terdaftar, tidak ada keraguan bahwa teknologi ini telah memberikan dampak signifikan bagi perekonomian lokal. Namun, seiring dengan pertumbuhan ini, tantangan dan peluang baru pun muncul.
Peningkatan Adopsi QRIS di Lampung
Adopsi QRIS di Lampung didorong oleh kemudahan dan kecepatan transaksi yang ditawarkan. Diungkapkan oleh Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Lampung, Bimo Epyanto, bahwa selama periode yang disebutkan, masyarakat semakin terbuka dengan metode pembayaran digital. Pengguna QRIS yang didominasi oleh kalangan muda juga berkontribusi pada tingginya angka transaksi.
Transformasi dari transaksi tunai ke digital ini tidak hanya memperbaik pengalaman konsumen tetapi juga membantu UMKM mengakses pangsa pasar yang lebih luas. Dengan QRIS, UMKM dapat melakukan transaksi lebih cepat dan efisien, membebaskan mereka dari batasan geografis. Studi menunjukkan bahwa merchant yang menggunakan QRIS mengalami peningkatan omzet karena dapat melayani lebih banyak pelanggan dengan cepat.
Tantangan di Wilayah Tertentu
Meskipun volume transaksi QRIS di Lampung menggembirakan, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, terutama di daerah-daerah pedesaan. Kabupatan Pesisir Barat, contohnya, merupakan daerah dengan volume transaksi terendah. Hal ini dapat dijelaskan oleh infrastruktur yang belum memadai dan akses internet yang terbatas. Kondisi geografis yang sulit juga mempengaruhi kecepatan pengembangan infrastruktur teknologi.
Bimo menegaskan pentingnya edukasi digital untuk mendorong penerimaan teknologi ini di daerah-daerah yang masih terbelakang. Program-program pelatihan dan peningkatan fasilitas penunjang menjadi langkah strategis untuk memastikan semua lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat dari transaksi digital. Kolaborasi dengan pemerintah daerah dan pihak swasta akan sangat krusial dalam mengatasi keterbatasan ini.
Transformasi keuangan digital tidak hanya sekadar penerapan teknologi, tetapi juga membutuhkan perubahan sikap dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pembayaran digital dalam keseharian. Dengan mendukung UMKM untuk bertransaksi secara digital, kita dapat menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi pihak berwenang untuk menyediakan infrastruktur yang mendukung inovasi keuangan. Upaya ini harus dilakukan secara komprehensif sehingga semua pihak dapat meningkatkan adopsi QRIS, khususnya di wilayah yang masih tertinggal. Hanya dengan menciptakan infrastruktur yang baik, ekosistem *digital* untuk transaksi keuangan dapat terwujud.
Pada akhirnya, volume transaksi QRIS yang mencapai 6,8 juta kali di Lampung adalah cerminan dari adanya kemajuan yang nyata. Tantangan yang ada harus dianggap sebagai peluang untuk terus mendorong perubahan positif dalam sektor keuangan digital. Dengan kerja sama antara seluruh stakeholder, insya Allah, perekonomian Lampung dapat bertransformasi menjadi lebih maju dan inklusif.